Klenteng Tiao Kak Sie atau Vihara Dewi Welas Asih terletak di Jalan Kantor No. 2 Kampung Kamiran, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasi klenteng ini bersebelahan dengan bangunan kuno bekas gedung Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij, kini menjadi Bank Mandiri.
Mengenai kapan berdirinya klenteng ini tidak ada bukti yang jelas, baik berupa prasasti, naskah maupun cerita-cerita yang menceriterakan kapan klenteng tersebut dibangun. Hanya saja, di paai, sebuah papan kecil yang memuat pepatah atau peribahasa sebagai penghormatan kepada dewa-dewa, tertulis tertulis 1658 M di sebelah kiri.
Pada tahun 1658 M, klenteng ini memang diperkirakan sudah ada, namun siapa orang yang mendirikannya tidak diketahui. Hanya yang memperbaiki klenteng itu pada tahun 1791, 1829, dan 1889, nama-namanya tertulis pada dua papan batu yang berada di bilik depan pada dinding sebelah kanan dan kiri, sedangkan yang satunya tertulis di papan kayu lepas saja.
Klenteng yang menghadap ke selatan ini, berdiri di atas areal lahan seluas 1.8577 m² dengan bangunan utama seluas 1.600 m². Klenteng ini dinamakan Tiao Kak Sie. Sie berarti rumah orang beribadat atau tempat bertapa. Tiao, artinya air pasang atau air naik. Sedangkan, Kak artinya bangun dari tidur dan bisa juga dimaknai, membangunkan atau membawa kepada akal yang benar. Oleh sebab itu, klenteng ini bisa memiliki dua pengertian. Pertama, klenteng merupakan tempat kita dibangunkan oleh air pasang, dan yang kedua, klenteng merupakan tempat akal bertambah.
Denah klenteng ini terbagi menjadi halaman, bangunan utama, dan bangunan sayap. Memasuki halaman pertama, pengunjung akan melintasi gapura berbentuk bentar berwarna hitam. Menuju halaman kedua, pengunjung melewati men lou wu, pintu gerbang untuk masuk ke dalam bangunan utama. Di situ terdapat bangunan Pat Kwa Cheng (tempat peristirahatan), tempat peribadatan agama Buddha yang dikenal dengan Cetya Dharma Rakhita serta dua pembakaran kertas.
Bangunan utama klenteng ini terdiri atas serambi dan ruang utama. Ruang utama memiliki ruang bagian depan, tengah dan ruang suci utama. Pada bagian ruang tengah utama terdapat altar untuk memuja Dewa Hok Teng Ceng Sing (Dewa Bumi), dan altar untuk Dewa Seng Ho Yah (Dewa Akhirat//Hukum). Sedangkan, pada ruang suci utama terdapat altar untuk memuja dewa utama mereka yaitu Kwam Im Pou Sat dengan beberapa dewa pengiringnya. Selain itu, masih terdapat bangunan sayap kiri, dan bangunan sayap belakang, yang juga dipergunakan untuk altar.
Klenteng Tiao Kak Sie yang dikenal juga dengan nama Vihara Dewi Welas Asih ini telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB) dengan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon
2.Klenteng Soeh Boen Pang Gie Soe
Klenteng Soeh Boen pan Gie Soe atau Rumah Abu Leluhur terletak di Jalan Talang No. 2 Kampung Keprabon RT.03 RW. 02 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Sebelah utara berbatasan dengan rumah duka dan toko, sebelah timur terdapat Jalan Talang yang di seberangnya berdiri kokoh bangunan Gedung BAT Cirebon, sebelah selatan berbatasan dengan Pabrik Bohlam PT. NIRI dan Pabrik Karet, serta sebelah barat adalah pemukiman padat.
Klenteng ini bagi masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan nama Klenteng Talang. Kata “Talang”, menurut bahasa China berasal dari kata toa lang yang berarti “orang besar” atau “tuan besar”. Istilah ini ditujukan kepada tiga orang laksamana besar utusan Kaisar Ming yang mendarat di Cirebon pada abad ke-14, yaitu Cheng Ho (Cheng He), Fa Wan (Fa Xien), dan Khung Wu Fung, yang semuanya beragama Islam.
Klenteng ini dibangun di atas areal tanah seluas 400 m² pada 1450 M oleh Tan Sam Cai atau H. Mohammad Syafei. Beliau ini awalnya adalah sseorang sudagar dari daratan China yang mengadakan pelayaran hingga mendarat di Pantai Utara Cirebon. Karena kepandaian yang dimilikinya, H. Muhammad Syafei kemudian diangkat sebagai Menteri Keuangan dari Kraton Kanoman, dan dinikahkan dengan salah seorang putri dari Kanoman. Lalu, beliau diberi gelar Tumenggung Aria Dipacula.
Klenteng yang menghadap ke timur ini, dahulunya berfungsi sebagai masjid dan digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi saudagar-saudagar yang datang dari tempat jauh.
Seperti arsitektur bangunan klenteng pada umumnya, klenteng ini memiliki ruang depan, ruang tengah, dan di kiri-kananya terdapat bangunan penunjang lainnya. Bagian depan klenteng ini adalah pendopo, sedangkan ruang tengahnya diperuntukan bagi altar untuk persembahyangan penganut Kong Hu Chu.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 563 tahun, bangunannya masih berdiri kokoh dan belum pernah mengalami pemugaran secara besar-besaran. Bila ada renovasi, hanya sebatas mengganti yang mengalami kerusakan saja
3.Klenteng Boen San Tong
Klenteng Boen San Tong atau Vihara Pemancar Keselamatan terletak di Jalan Winaon No. 69/ 26 Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Kanoman Utara, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada di sudut pengkolan jalan, pertemuan antara Jalan Winaon dengan Jalan Kanoman. Lokasi vihara ini berada di sebelah barat Pasar Kanoman ± 200 m.
Vihara Pemancar Keselamatan ini merupakan tempat peribadatan umat Buddha, yang diperkirakan berdiri pada 1894 M. Bangunan yang sudah tua cukup mudah dikenali dari pintu gerbangnya, yang bertuliskan “Vihara Pemancar Keselamatan”. Setelah melintasi pintu gerbang, pengunjung akan melihat guci yang terbuat dari kuningan untuk menancapkan hio di semacam pendopo sebelum memasuki ruang persembahyangan yang khusus bagi dewa-dewa tertentu, dan di atasnya terdapat empat lampion berbentuk guci dengan warna merah dan emas. Bagi penganut agama Buddha, lampion dipercaya sebagai harapan masa depan dan doa yang terkabul.
Vihara ini memiliki ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang yang begitu luas. Memasuki ruang tengah setelah pendopo tadi, terdapat altar Dewi Kwam Im yang merupakan penjelmaan Buddha Welas Asih. Di dekatnya, terdapat ornamen empat naga besar yang melilit pilar merah serta dua pengawal langit yang menjaganya. Juga terdapat patung Kwan Te Kong, panglima dari zaman Sam Kok, yang disembahyangi karena terkenal kejujuran dan kesetiannya pada sumpahnya. Sedangkan ruang belakang vihara ini memiliki lima altar persembahan bagi kelima Dewi yang dipuja di vihara ini.
Selain itu, vihara ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan klenteng yang ada selama ini. Di vihara ini terdapat jalangkung, berupa sebuah boneka pemanggil arwah Dewi Pek Ku Thay Fud dengan sebuah pena di salah satu tangannya, dan sesobek kertas sebagai tempat menulis
Bangunan vihara ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) dengan telah dikeluarkannya Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Sehingga kelestarian klenteng ini adalah tanggung jawab kita bersama
4. Gereja Santo Yusuf
Gereja Santo Yusuf Cirebon terletak di sebelah Barat Jalan Yos Sudarso Kota Cirebon. Keberadaan Gereja Santo Yusuf (GSY) terkait erat dengan perkembangan agama Katolik di Indonesia yang mulai mendapat angin segar setelah Gubernur Jenderal Deandels berkuasa (1808-1811). Sejak masa pemerintahannya, Gereja Katolik mendapat kebebasan terbatas dan baru mulai tahun 1847 kehidupan gereja terbatas dari campur tangan pemerintah. Agama Katolik mulai berkembang di Cirebon pada tahun 1877 dirintis oleh seorang pengusaha berdarah Portugis bernama Louise Theodore Gonsalves, seorang lelaki kelahiran Jakarta tahun 1828. Ia seorang pemimpin perusahaan pabrik gula di Tersana.
Louis Theodore Gonsalves membangun GSY diawali dengan membeli sebidang tanah di Lemahwungkuk. Dia merancang dan mengawasi langsung proses pembangunan gereja yang bergaya Eropa tersebut. Hingga memakan waktu hampir 2 tahun. Setelah itu, pada 10 November 1880 gereja ini diberkati oleh Mgr. Claessens, uskup Jakarta yang tinggal di kediaman Gonsalves. Selain membangun gereja, Gonsalves menanggung biaya pemeliharaan dan mencukupi segala kebutuhan pastor gereja
5. Gereja Kristen Pasundan
Gereja Kristen Pasundan (GKP) Cirebon terletak di Jalan Yos Sudarso No. 10 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan gereja ini tepat berada di pojok jalan menuju Lapangan Kebumen. Tidak jauh dari GKP, juga terdapat sederetan bangunan kuno lainnya. Di seberang jalan terdapat Kantor Pos dan Bank Indonesia, sedangkan yang sederet dengan GKP terdapat Gedung Niaga Cipta, SMPN 16 Cirebon dan Gedung Bundar.
Sesuai dengan papan yang didominasi warna biru bertuliskan warna merah, bangunan GKP ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001. Bangunan GKP ini diperkirakan berdiri pada tahun 1778, dan semula bukan diperuntukkan untuk tempat peribadatan. Hal ini bisa dilihat pada pintu masuk utama terdapat sebuah pelat yang terbuat dari tembaga, bertuliskan bahasa Belanda yang menempel dinding, Tulisan tersebut tampaknya menunjukkan pemilik rumah sebelumnya serta tahun pembuatan gedung ini.
Bangunan GKP ini berbentuk segi enam simetris dengan puncak mengerucut, seperti bangunan khas kolonial lainnya yang berada di Cirebon. Namun dari sekiian kepustakaan yang ada, siapa perancang bangunan ini tidaklah diketahui. Yang jelas bangunan ini dulunya milik perorangan bangsa Belanda yang tinggal di Cirebon.
Menurut sejarahnya, GKP ini dirintis oleh seorang zendeling yang bernama A. Dijkstra pada tahun 1864 semenjak ia tiba di Cirebon. Dalam empat tahun pelayanannya, Dijkstra berhasil membaptiskan dua orang Sunda asli, dan seorang Tionghoa bersama keluarganya. Orang Tionghoa itu diketahui bernama Letnan You Pow. Lalu, jemaat kecil ini beribadah di salah satu ruangan rumah Letnan You Pow. Inilah awal mula dari GKP Cirebon.
Namun demikian pada masa itu, memang acapkali terjadi perpindahan tempat beribadah dari satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya menempati rumah orang Belanda tersebut hingga kini. Sejak awal, jemaat GKP ini tergolong heterogen. Dari catatan tahun 1885 diketahui bahwa jumlah anggota jemaatnya sebanyak 39 orang. Mereka terdiri atas 10 orang Sunda, 13 orang Tionghoa, dan 16 orang keturunan Indo serta Ambon. GKP ini resmi berdiri pada 14 November 1934
6. Gedung Cipta Niaga Cirebon
Berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Gedung Cipta Niaga ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Hal ini membawa konsekuensi bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah situs yang harus dijaga dan dirawat agar supaya tetap lestari.
Gedung Cipta Niaga merupakan bangunan tua bertingkat dua berbentuk kotak simetris kiri kanan. Di bagian tengahnya ada menara. Di setiap puncak bangunan terdapat konstruksi mengerucut seperti ujung anak panah. Gedung ini terletak di Jalan Kebumen No.01 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini tepat berada di pojok Jalan Yos Sudarso No. 10 Cirebon ke arah Lapangan Kebumen, dan berdampingan dengan Gereja Kristen Pasundan.
Awalnya, gedung ini merupakan bangunan milik Internationale Crediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” atau semacam kantor dagang milik pemerintah kolonial Belanda, yang biasa dikenal dengan istilah Rotterdam Internatio. Rotterdam Internatio merupakan perusahaan lima besar yang bergerak di bidang perbankan dan perkebunan. Perusahaan ini antara lain melakukan pembelian, sewa-menyewa kapal, dan juga membuka kredit-kredit dan deposito.
Gedung yang dibangun pada 1911, dan dirancang oleh Biro Arsitek Cuypers en Hulswit ini tergolong luas namun tidak memiliki teras di depanya karena bangunan ini langsung menghadap dan menempel di bibir jalan.
Gedung tua yang pernah dipotret oleh fotografer Georg Friedrich Johannes Bley antara tahun 1920 – 1933 ini, bila senantiasa dikelola dengan baik akan mendatangkan para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang menyukai wisata Kota Tua
7. Kantor Pos (1906 M)
Salah satu bangunan tua di daerah Cirebon yang dilindungi oleh Pemerintah Cirebon dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya Cirebon.
Gedung ini menjadi saksi bagaimana pada waktu itu Daendels yang berhak berkuasa penuh atas pos sampai-sampai ia berencana membuat jalan yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan. Jalan sepanjang 1.000 km ini sangat membantu dalam mempercepat pengantaran surat-surat dan paket-paket antarkota di Pulau Jawa. Jalan yang dibuat dengan metode rodi (kerja paksa) ini dikenal dengan nama Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Dengan adanya jalan ini, perjalanan antara Provinsi Jawa Barat sampai Provinsi Jawa Timur, yang awalnya bisa memakan waktu puluhan hari, bisa ditempuh dalam jangka waktu kurang dari seminggu
8. Gedung Bank Indonesia (BI) (1912 M)
Gedung Bank Indonesia di Jl. Yos Sudarso merupakan bangunan tua di Cirebon, salah satu gedung tua peninggalan jaman kolonial yang masih berdiri dengan megah, cantik dan anggun di Kota Cirebon. Lokasi Gedung Bank Indonesia Cirebon ini sangat dekat dekat dengan lokasi Gedung Bank Mandiri, dan juga dekat dengan lokasi beberapa gedung tua lainnya yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Kantor Dinas Purbakala setempat.
Dahulu, gedung ini berfungsi sebagai kantor De Javasche Bank (DJB) cabang Cirebon yang dibuka pada 31 Juli 1866 dan baru beroperasi tanggal 6 Agustus 1866 dengan nama Agentschap van De Javasche Bank te Cheribon.Peletakan batu pertama pembangunan gedung dilakukan pada 21 September 1919 oleh Jan Marianus Gerritzen. Arsitektur gedung dikerjakan oleh Biro Arsitek F.D. Cuypers & Hulswit dengan gaya art deco. Gedung ini selesai dibangun dan digunakan pada 22 Maret 1921.
Denah klenteng ini terbagi menjadi halaman, bangunan utama, dan bangunan sayap. Memasuki halaman pertama, pengunjung akan melintasi gapura berbentuk bentar berwarna hitam. Menuju halaman kedua, pengunjung melewati men lou wu, pintu gerbang untuk masuk ke dalam bangunan utama. Di situ terdapat bangunan Pat Kwa Cheng (tempat peristirahatan), tempat peribadatan agama Buddha yang dikenal dengan Cetya Dharma Rakhita serta dua pembakaran kertas.
Bangunan utama klenteng ini terdiri atas serambi dan ruang utama. Ruang utama memiliki ruang bagian depan, tengah dan ruang suci utama. Pada bagian ruang tengah utama terdapat altar untuk memuja Dewa Hok Teng Ceng Sing (Dewa Bumi), dan altar untuk Dewa Seng Ho Yah (Dewa Akhirat//Hukum). Sedangkan, pada ruang suci utama terdapat altar untuk memuja dewa utama mereka yaitu Kwam Im Pou Sat dengan beberapa dewa pengiringnya. Selain itu, masih terdapat bangunan sayap kiri, dan bangunan sayap belakang, yang juga dipergunakan untuk altar.
Klenteng Tiao Kak Sie yang dikenal juga dengan nama Vihara Dewi Welas Asih ini telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB) dengan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon
2.Klenteng Soeh Boen Pang Gie Soe
Klenteng Soeh Boen pan Gie Soe atau Rumah Abu Leluhur terletak di Jalan Talang No. 2 Kampung Keprabon RT.03 RW. 02 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Sebelah utara berbatasan dengan rumah duka dan toko, sebelah timur terdapat Jalan Talang yang di seberangnya berdiri kokoh bangunan Gedung BAT Cirebon, sebelah selatan berbatasan dengan Pabrik Bohlam PT. NIRI dan Pabrik Karet, serta sebelah barat adalah pemukiman padat.
Klenteng ini bagi masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan nama Klenteng Talang. Kata “Talang”, menurut bahasa China berasal dari kata toa lang yang berarti “orang besar” atau “tuan besar”. Istilah ini ditujukan kepada tiga orang laksamana besar utusan Kaisar Ming yang mendarat di Cirebon pada abad ke-14, yaitu Cheng Ho (Cheng He), Fa Wan (Fa Xien), dan Khung Wu Fung, yang semuanya beragama Islam.
Klenteng ini dibangun di atas areal tanah seluas 400 m² pada 1450 M oleh Tan Sam Cai atau H. Mohammad Syafei. Beliau ini awalnya adalah sseorang sudagar dari daratan China yang mengadakan pelayaran hingga mendarat di Pantai Utara Cirebon. Karena kepandaian yang dimilikinya, H. Muhammad Syafei kemudian diangkat sebagai Menteri Keuangan dari Kraton Kanoman, dan dinikahkan dengan salah seorang putri dari Kanoman. Lalu, beliau diberi gelar Tumenggung Aria Dipacula.
Klenteng yang menghadap ke timur ini, dahulunya berfungsi sebagai masjid dan digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi saudagar-saudagar yang datang dari tempat jauh.
Seperti arsitektur bangunan klenteng pada umumnya, klenteng ini memiliki ruang depan, ruang tengah, dan di kiri-kananya terdapat bangunan penunjang lainnya. Bagian depan klenteng ini adalah pendopo, sedangkan ruang tengahnya diperuntukan bagi altar untuk persembahyangan penganut Kong Hu Chu.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 563 tahun, bangunannya masih berdiri kokoh dan belum pernah mengalami pemugaran secara besar-besaran. Bila ada renovasi, hanya sebatas mengganti yang mengalami kerusakan saja
3.Klenteng Boen San Tong
Klenteng Boen San Tong atau Vihara Pemancar Keselamatan terletak di Jalan Winaon No. 69/ 26 Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Kanoman Utara, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada di sudut pengkolan jalan, pertemuan antara Jalan Winaon dengan Jalan Kanoman. Lokasi vihara ini berada di sebelah barat Pasar Kanoman ± 200 m.
Vihara Pemancar Keselamatan ini merupakan tempat peribadatan umat Buddha, yang diperkirakan berdiri pada 1894 M. Bangunan yang sudah tua cukup mudah dikenali dari pintu gerbangnya, yang bertuliskan “Vihara Pemancar Keselamatan”. Setelah melintasi pintu gerbang, pengunjung akan melihat guci yang terbuat dari kuningan untuk menancapkan hio di semacam pendopo sebelum memasuki ruang persembahyangan yang khusus bagi dewa-dewa tertentu, dan di atasnya terdapat empat lampion berbentuk guci dengan warna merah dan emas. Bagi penganut agama Buddha, lampion dipercaya sebagai harapan masa depan dan doa yang terkabul.
Vihara ini memiliki ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang yang begitu luas. Memasuki ruang tengah setelah pendopo tadi, terdapat altar Dewi Kwam Im yang merupakan penjelmaan Buddha Welas Asih. Di dekatnya, terdapat ornamen empat naga besar yang melilit pilar merah serta dua pengawal langit yang menjaganya. Juga terdapat patung Kwan Te Kong, panglima dari zaman Sam Kok, yang disembahyangi karena terkenal kejujuran dan kesetiannya pada sumpahnya. Sedangkan ruang belakang vihara ini memiliki lima altar persembahan bagi kelima Dewi yang dipuja di vihara ini.
Selain itu, vihara ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan klenteng yang ada selama ini. Di vihara ini terdapat jalangkung, berupa sebuah boneka pemanggil arwah Dewi Pek Ku Thay Fud dengan sebuah pena di salah satu tangannya, dan sesobek kertas sebagai tempat menulis
Bangunan vihara ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) dengan telah dikeluarkannya Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Sehingga kelestarian klenteng ini adalah tanggung jawab kita bersama
4. Gereja Santo Yusuf
Gereja Santo Yusuf Cirebon terletak di sebelah Barat Jalan Yos Sudarso Kota Cirebon. Keberadaan Gereja Santo Yusuf (GSY) terkait erat dengan perkembangan agama Katolik di Indonesia yang mulai mendapat angin segar setelah Gubernur Jenderal Deandels berkuasa (1808-1811). Sejak masa pemerintahannya, Gereja Katolik mendapat kebebasan terbatas dan baru mulai tahun 1847 kehidupan gereja terbatas dari campur tangan pemerintah. Agama Katolik mulai berkembang di Cirebon pada tahun 1877 dirintis oleh seorang pengusaha berdarah Portugis bernama Louise Theodore Gonsalves, seorang lelaki kelahiran Jakarta tahun 1828. Ia seorang pemimpin perusahaan pabrik gula di Tersana.
Louis Theodore Gonsalves membangun GSY diawali dengan membeli sebidang tanah di Lemahwungkuk. Dia merancang dan mengawasi langsung proses pembangunan gereja yang bergaya Eropa tersebut. Hingga memakan waktu hampir 2 tahun. Setelah itu, pada 10 November 1880 gereja ini diberkati oleh Mgr. Claessens, uskup Jakarta yang tinggal di kediaman Gonsalves. Selain membangun gereja, Gonsalves menanggung biaya pemeliharaan dan mencukupi segala kebutuhan pastor gereja
5. Gereja Kristen Pasundan
Gereja Kristen Pasundan (GKP) Cirebon terletak di Jalan Yos Sudarso No. 10 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasi bangunan gereja ini tepat berada di pojok jalan menuju Lapangan Kebumen. Tidak jauh dari GKP, juga terdapat sederetan bangunan kuno lainnya. Di seberang jalan terdapat Kantor Pos dan Bank Indonesia, sedangkan yang sederet dengan GKP terdapat Gedung Niaga Cipta, SMPN 16 Cirebon dan Gedung Bundar.
Sesuai dengan papan yang didominasi warna biru bertuliskan warna merah, bangunan GKP ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001. Bangunan GKP ini diperkirakan berdiri pada tahun 1778, dan semula bukan diperuntukkan untuk tempat peribadatan. Hal ini bisa dilihat pada pintu masuk utama terdapat sebuah pelat yang terbuat dari tembaga, bertuliskan bahasa Belanda yang menempel dinding, Tulisan tersebut tampaknya menunjukkan pemilik rumah sebelumnya serta tahun pembuatan gedung ini.
Bangunan GKP ini berbentuk segi enam simetris dengan puncak mengerucut, seperti bangunan khas kolonial lainnya yang berada di Cirebon. Namun dari sekiian kepustakaan yang ada, siapa perancang bangunan ini tidaklah diketahui. Yang jelas bangunan ini dulunya milik perorangan bangsa Belanda yang tinggal di Cirebon.
Menurut sejarahnya, GKP ini dirintis oleh seorang zendeling yang bernama A. Dijkstra pada tahun 1864 semenjak ia tiba di Cirebon. Dalam empat tahun pelayanannya, Dijkstra berhasil membaptiskan dua orang Sunda asli, dan seorang Tionghoa bersama keluarganya. Orang Tionghoa itu diketahui bernama Letnan You Pow. Lalu, jemaat kecil ini beribadah di salah satu ruangan rumah Letnan You Pow. Inilah awal mula dari GKP Cirebon.
Namun demikian pada masa itu, memang acapkali terjadi perpindahan tempat beribadah dari satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya menempati rumah orang Belanda tersebut hingga kini. Sejak awal, jemaat GKP ini tergolong heterogen. Dari catatan tahun 1885 diketahui bahwa jumlah anggota jemaatnya sebanyak 39 orang. Mereka terdiri atas 10 orang Sunda, 13 orang Tionghoa, dan 16 orang keturunan Indo serta Ambon. GKP ini resmi berdiri pada 14 November 1934
6. Gedung Cipta Niaga Cirebon
Berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Gedung Cipta Niaga ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Hal ini membawa konsekuensi bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah situs yang harus dijaga dan dirawat agar supaya tetap lestari.
Gedung Cipta Niaga merupakan bangunan tua bertingkat dua berbentuk kotak simetris kiri kanan. Di bagian tengahnya ada menara. Di setiap puncak bangunan terdapat konstruksi mengerucut seperti ujung anak panah. Gedung ini terletak di Jalan Kebumen No.01 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini tepat berada di pojok Jalan Yos Sudarso No. 10 Cirebon ke arah Lapangan Kebumen, dan berdampingan dengan Gereja Kristen Pasundan.
Awalnya, gedung ini merupakan bangunan milik Internationale Crediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” atau semacam kantor dagang milik pemerintah kolonial Belanda, yang biasa dikenal dengan istilah Rotterdam Internatio. Rotterdam Internatio merupakan perusahaan lima besar yang bergerak di bidang perbankan dan perkebunan. Perusahaan ini antara lain melakukan pembelian, sewa-menyewa kapal, dan juga membuka kredit-kredit dan deposito.
Gedung yang dibangun pada 1911, dan dirancang oleh Biro Arsitek Cuypers en Hulswit ini tergolong luas namun tidak memiliki teras di depanya karena bangunan ini langsung menghadap dan menempel di bibir jalan.
Gedung tua yang pernah dipotret oleh fotografer Georg Friedrich Johannes Bley antara tahun 1920 – 1933 ini, bila senantiasa dikelola dengan baik akan mendatangkan para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang menyukai wisata Kota Tua
7. Kantor Pos (1906 M)
Salah satu bangunan tua di daerah Cirebon yang dilindungi oleh Pemerintah Cirebon dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya Cirebon.
Gedung ini menjadi saksi bagaimana pada waktu itu Daendels yang berhak berkuasa penuh atas pos sampai-sampai ia berencana membuat jalan yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan. Jalan sepanjang 1.000 km ini sangat membantu dalam mempercepat pengantaran surat-surat dan paket-paket antarkota di Pulau Jawa. Jalan yang dibuat dengan metode rodi (kerja paksa) ini dikenal dengan nama Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Dengan adanya jalan ini, perjalanan antara Provinsi Jawa Barat sampai Provinsi Jawa Timur, yang awalnya bisa memakan waktu puluhan hari, bisa ditempuh dalam jangka waktu kurang dari seminggu
8. Gedung Bank Indonesia (BI) (1912 M)
Gedung Bank Indonesia di Jl. Yos Sudarso merupakan bangunan tua di Cirebon, salah satu gedung tua peninggalan jaman kolonial yang masih berdiri dengan megah, cantik dan anggun di Kota Cirebon. Lokasi Gedung Bank Indonesia Cirebon ini sangat dekat dekat dengan lokasi Gedung Bank Mandiri, dan juga dekat dengan lokasi beberapa gedung tua lainnya yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Kantor Dinas Purbakala setempat.
Dahulu, gedung ini berfungsi sebagai kantor De Javasche Bank (DJB) cabang Cirebon yang dibuka pada 31 Juli 1866 dan baru beroperasi tanggal 6 Agustus 1866 dengan nama Agentschap van De Javasche Bank te Cheribon.Peletakan batu pertama pembangunan gedung dilakukan pada 21 September 1919 oleh Jan Marianus Gerritzen. Arsitektur gedung dikerjakan oleh Biro Arsitek F.D. Cuypers & Hulswit dengan gaya art deco. Gedung ini selesai dibangun dan digunakan pada 22 Maret 1921.
9. Gedung Bundar Cirebon
Gedung Bundar adalah bangunan tua berbentuk bundar yang terletak di Lapangan atau Taman Kebumen Talang, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di depan SMPN 16 Cirebon.
Gedung ini berukuran kecil, berbentuk persegi enam simetris, dan beratap seng mengerucut, dengan sebuah pintu masuk yang rendah di salah satu sudutnya. Namun sayang, tembok bangunan ini penuh coret-coretan yang berasal dari ulah tangan iseng.
Gedung ini dibangun oleh Belanda pada 1920. Konon ceritanya, bangunan ini dipergunakan untuk memantau laut. Kala itu, memang arah memandang ke laut masih terbuka lebar, karena saat dibangun pada 1920 belum banyak bangunan tinggi seperti sekarang ini.
Gedung yang dibangun dia areal seluas 634 m² ini, berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001 ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Sebagai konsekuensinya, bangunan ini dilindungi juga oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Seharusnya, gedung ini harus steril dari berbagai coretan yang merusak pemandangan untuk gedung tersebut.
Bila hal ini dibiarkan terus, bukan mustahil “roh” pariwisata yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Cirebon akan cidera dengan sendirinya.
Gedung Bundar adalah bangunan tua berbentuk bundar yang terletak di Lapangan atau Taman Kebumen Talang, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di depan SMPN 16 Cirebon.
Gedung ini berukuran kecil, berbentuk persegi enam simetris, dan beratap seng mengerucut, dengan sebuah pintu masuk yang rendah di salah satu sudutnya. Namun sayang, tembok bangunan ini penuh coret-coretan yang berasal dari ulah tangan iseng.
Gedung ini dibangun oleh Belanda pada 1920. Konon ceritanya, bangunan ini dipergunakan untuk memantau laut. Kala itu, memang arah memandang ke laut masih terbuka lebar, karena saat dibangun pada 1920 belum banyak bangunan tinggi seperti sekarang ini.
Gedung yang dibangun dia areal seluas 634 m² ini, berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001 ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Sebagai konsekuensinya, bangunan ini dilindungi juga oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Seharusnya, gedung ini harus steril dari berbagai coretan yang merusak pemandangan untuk gedung tersebut.
Bila hal ini dibiarkan terus, bukan mustahil “roh” pariwisata yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Cirebon akan cidera dengan sendirinya.
10. Stasiun Cirebon/Stasiun Kejaksan (1920 M)
Stasiun Cirebon (CN) merupakan sebuah stasiun kereta api yang terletak di Jl. Siliwangi, Kebonbaru, Kejaksan, Cirebon. Karena terletak di kecamatan Kejaksan, Stasiun Cirebon kadang-kadang disebut juga Stasiun Kejaksan. Stasiun yang terletak di Daerah Operasi III Cirebon ini terletak pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut.
Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di daerah Cirebon dan merupakan tempat pemberhentian beberapa kereta api baik dari arah Jawa Timur/Tengah maupun dari Jakarta. Seperti kereta api Kereta Cirebon Ekspres, Argo Jati, Taksaka dan lain-lain.
Gedung Stasiun Cirebon/Kejaksan pada saat dibangun pada tahun 1920, diprakarsai oleh seorang arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879–1955) dalam gaya arsitektur campuran art nouveau dengan art deco,Dua "menara"-nya yang sekarang ada tulisan CIREBON dulu ada tulisan KAARTJES (karcis) di sebelah kiri dan BAGAGE (bagasi) di sebelah kanan. Pada tahun 1984, gedung stasiun ini dicat putih.
Stasiun kereta api setelah stasiun Kejaksaan yaitu stasiun Prujakan. Stasiun Prujakan merupakan stasiun yang cukup besar setelah stasiun Kejaksan, stasiun Prujakan baru-baru ini telah dibangun lagi JALUR REL BARU dan STASIUN BARU disekitar areal stasiun, di stasiun ini jalur double rel dari Jakarta hanya sampai di stasiun Prujakan, karena jalur selatan (Purwokerto) dan jalur utara (Semarang) akan memisah.
11. Gedung British American Tobacco (BAT) (1924 M)
Gedung British-American Tobacco (BAT) Cirebon yang umurnya cukup tua ini terletak di Jalan Pasuketan No. 1 Kampung Kebumen, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Gedung ini berada di pojok perempatan, dan berseberangan dengan Bank Mandiri.
Gedung BAT Cirebon sejak dahulu merupakan salah satu lokasi bangunan yang digunakan oleh produsen rokok putih terkemuka di dunia. Pabrik ini didirikan pada 1924 yang rancangan bangunannya dipercayakan kepada Biro Arsitek Fermond Ed Cuypers & Hulswit, dengan gaya art deco.
Gedung BAT Cirebon ini semula dimiliki oleh perusahaan rokok SS Michael. Kini, Gedung BAT Cirebon dimiliki oleh PT Bentoel International Investama (BINI).
Kendati bangunan ini luas sekali, sejak gedung ini dibangun, nyaris tidak memiliki halaman. Secara umum, bangunan ini terdiri atas lobi, ruang kantor, pabrik dan saran penunjang, seperti mushala dan kantin.
Gedung yang luas dan besar ini masih berdiri kokoh serta masih bisa disaksikan hingga sekarang. Bahkan, menjadi salah satu dari ikon yang ada di Kota Cirebon. Tidak bosan-bosannya orang yang melintas jalan ini akan terkagum-kagum terhadap bagunan ini
12. Gedung Balai Kota Cirebon (1927 M)
Balai Kota Cirebon, yang terletak di Jalan Siliwangi No.24 Kampung Tanda Barat, Kelurahan Keramat, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di jatung kota Cirebon, dan mudah untuk ditempuh dengan moda tansportasi darat, baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa meter di sebelah selatan bangunan Balai Kota terdapat alun-alun Kota Cirebon, sedangkan beberapa meter arah utara terdapat Stasiun Kereta Api Kejaksan Cirebon.
Masih dalam lingkaran pusat kota, di sebelah barat adalah ruas rel kereta api yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat hingga ke Jakarta. Sebelah timur Balai Kota adalah Jalan Siliwangi yang membelah pusat kota tersebut. Di jalan tersebut berdiri banyak hotel dari berbagai tingkatan, mulai dari kelas losmen, hotel melati hingga hotel berbintang.
Gedung Balai Kota Cirebon merupakan karya perancang dua aristek bernama H.P. Hamdl dan C.F.H. Koll, yang berusaha memadukan konstruksi barat dengan gaya arsitektur berfilosofi lokal. Menurut Agustinus David dalam skripsinya yang berjudul Bentuk dan Gaya Bangunan Balai Kota di Cirebon (2010) dijelaskan bahwa Gedung Balai Kota Cirebon terpengaruh oleh gaya modern yang berkembang di Belanda, yaitu gaya Amsterdam School yang berkembang antara tahun 1910 – 1930. Hal ini terlihat dari ekspresionis yang kuat dalam bentuk. Pemakaian bahan bangunan dari alam seperti batu bata dan bentuknya yang sangat plastis, ornamen sculptural dan bermacam-macam warna dari bahan asli (bata, alam, kayu).
Gedung yang berdiri pada areal lahan yang luasnya sekitar 15.770 m², dan memiliki luas bangunan 868 m² ini bertembok warna putih dan bertekstur halus, dibangun atas prakarsa J.J. Jiskoot, Direktur Gemeentewerken (Dinas Pekerjaan Umum) Cirebon kala itu, yang pembangunan fisik bangunannya mulai dilakukan pada 1 Juli 1926 dan selesai dibangun pada 1 September 1927. Biaya pembangunannya menghabiskan dana sekitar 165000 gulden.
Gedung Balai Kota ini memiliki 3 bangunan secara terpisah yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendamping di sayap kiri dan sayap kanannya. Di bagian depan pada bangunan utama terdapat portico yang berbentuk setengah lingkaran. Pada bagian dalam pada bangunan utama banyak terdapat kaca patri yang memiliki hiasan bervariasi. Di dinding bagian depan pada bangunan utama memiliki enam buah hiasan udang yang menempel pada dinding. Di dalam ruangan pada bangunan utama memiliki banyak bentuk pilaster yang bercirikan Tuscan. Tuscan merupakan salah satu arsitektur Romawi Klasik yang memiliki hiasan moulding pada kepala tiangnya.
Gedung ini semula berfungsi sebagai Raadhuis (Dewan Perwakilan Kota) yang merupakan pusat administrasi Kota Praja Cirebon. Ketika itu, gedung ini juga kerapkali digunakan sebagai tempat pertemuan dan pesta pernikahan kalangan bangsa Eropa. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa kemerdekaan, gedung ini menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon.
Gedung ini merupakan salah satu dari sekian banyak bangunan kolonial di Cirebon yang masih berdiri utuh, menjadi bukti sejarah perkembangan gaya seni bangunan dari masa kolonial di Cirebon.
Berdasarkan kekunaan kisahnya, gedung ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001
13. Gedung Negara Cirebon
Gedung Negara terletak di Jalan Siliwangi No. 14 Kampung Krucuk, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada ujung pertigaan Jalan Siliwangi menuju arah situs Sunan Gunung Jati atau bundaran Krucuk.
Gedung Negara merupakan bangunan kolonial yang dahulu digunakan sebagai tempat peristirahatan para petinggi Hindia Belanda. Sekarang, Gedung Negara ini dipakai sebagai Kantor Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Unit Pelayanan Perijinan (Outlet) Wilayah Cirebon Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan sering dijadikan pusat pagelaran kegiatan seni dan budaya tingkat nasional.
Awalnya, bangunan gedung ini adalah Cheribon Residentwoning atau Kantor Karesidenan Cirebon yang dibangun pada tahun 1865. Bangunan ini didirikan semasa kepemimpinan Albert Wilhelm Kinder De Camurecq di Karesidenan Cirebon.
Kondisi bangunan ini masih terjaga keasliannya, hanya dibelakang gedung ini terdapat tambahan bangunan baru. Gedung ini mengalami tiga kali perubahan nama. Hal tersebut menjadikan gedung ini sebagai obyek wisata bangunan tua di Kota Cirebon, mulai Gedung Karesiden Cirebon (1865-1973), Gedung Kantor Pembantu Wilayah III Cirebon (1974), dan kemudian Kantor Badan Koordinator Wilayah Cirebon (2000-sekarang).
Halaman gedung ini sangatlah luas, sehingga halamannya pun sejuk karena banyak tumbuh tanaman besar yang rindang. Di halaman selatan dari bangunan ini terdapat areal yang ditempati sejumlah rusa tutul, yang menambah kondisi di daerah Gedung Negara ini benar-benar menyatu dengan alam.
Berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Gedung Negara ini merupakan Benda Cagar Budaya yang ada di Kota Cirebon. Hal tersebut menjadikan gedung ini sebagai objek wisata bangunan tua di Kota Cirebon
Stasiun Cirebon (CN) merupakan sebuah stasiun kereta api yang terletak di Jl. Siliwangi, Kebonbaru, Kejaksan, Cirebon. Karena terletak di kecamatan Kejaksan, Stasiun Cirebon kadang-kadang disebut juga Stasiun Kejaksan. Stasiun yang terletak di Daerah Operasi III Cirebon ini terletak pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut.
Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di daerah Cirebon dan merupakan tempat pemberhentian beberapa kereta api baik dari arah Jawa Timur/Tengah maupun dari Jakarta. Seperti kereta api Kereta Cirebon Ekspres, Argo Jati, Taksaka dan lain-lain.
Gedung Stasiun Cirebon/Kejaksan pada saat dibangun pada tahun 1920, diprakarsai oleh seorang arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879–1955) dalam gaya arsitektur campuran art nouveau dengan art deco,Dua "menara"-nya yang sekarang ada tulisan CIREBON dulu ada tulisan KAARTJES (karcis) di sebelah kiri dan BAGAGE (bagasi) di sebelah kanan. Pada tahun 1984, gedung stasiun ini dicat putih.
Stasiun kereta api setelah stasiun Kejaksaan yaitu stasiun Prujakan. Stasiun Prujakan merupakan stasiun yang cukup besar setelah stasiun Kejaksan, stasiun Prujakan baru-baru ini telah dibangun lagi JALUR REL BARU dan STASIUN BARU disekitar areal stasiun, di stasiun ini jalur double rel dari Jakarta hanya sampai di stasiun Prujakan, karena jalur selatan (Purwokerto) dan jalur utara (Semarang) akan memisah.
11. Gedung British American Tobacco (BAT) (1924 M)
Gedung British-American Tobacco (BAT) Cirebon yang umurnya cukup tua ini terletak di Jalan Pasuketan No. 1 Kampung Kebumen, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Gedung ini berada di pojok perempatan, dan berseberangan dengan Bank Mandiri.
Gedung BAT Cirebon sejak dahulu merupakan salah satu lokasi bangunan yang digunakan oleh produsen rokok putih terkemuka di dunia. Pabrik ini didirikan pada 1924 yang rancangan bangunannya dipercayakan kepada Biro Arsitek Fermond Ed Cuypers & Hulswit, dengan gaya art deco.
Gedung BAT Cirebon ini semula dimiliki oleh perusahaan rokok SS Michael. Kini, Gedung BAT Cirebon dimiliki oleh PT Bentoel International Investama (BINI).
Kendati bangunan ini luas sekali, sejak gedung ini dibangun, nyaris tidak memiliki halaman. Secara umum, bangunan ini terdiri atas lobi, ruang kantor, pabrik dan saran penunjang, seperti mushala dan kantin.
Gedung yang luas dan besar ini masih berdiri kokoh serta masih bisa disaksikan hingga sekarang. Bahkan, menjadi salah satu dari ikon yang ada di Kota Cirebon. Tidak bosan-bosannya orang yang melintas jalan ini akan terkagum-kagum terhadap bagunan ini
12. Gedung Balai Kota Cirebon (1927 M)
Balai Kota Cirebon, yang terletak di Jalan Siliwangi No.24 Kampung Tanda Barat, Kelurahan Keramat, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di jatung kota Cirebon, dan mudah untuk ditempuh dengan moda tansportasi darat, baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa meter di sebelah selatan bangunan Balai Kota terdapat alun-alun Kota Cirebon, sedangkan beberapa meter arah utara terdapat Stasiun Kereta Api Kejaksan Cirebon.
Masih dalam lingkaran pusat kota, di sebelah barat adalah ruas rel kereta api yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat hingga ke Jakarta. Sebelah timur Balai Kota adalah Jalan Siliwangi yang membelah pusat kota tersebut. Di jalan tersebut berdiri banyak hotel dari berbagai tingkatan, mulai dari kelas losmen, hotel melati hingga hotel berbintang.
Gedung Balai Kota Cirebon merupakan karya perancang dua aristek bernama H.P. Hamdl dan C.F.H. Koll, yang berusaha memadukan konstruksi barat dengan gaya arsitektur berfilosofi lokal. Menurut Agustinus David dalam skripsinya yang berjudul Bentuk dan Gaya Bangunan Balai Kota di Cirebon (2010) dijelaskan bahwa Gedung Balai Kota Cirebon terpengaruh oleh gaya modern yang berkembang di Belanda, yaitu gaya Amsterdam School yang berkembang antara tahun 1910 – 1930. Hal ini terlihat dari ekspresionis yang kuat dalam bentuk. Pemakaian bahan bangunan dari alam seperti batu bata dan bentuknya yang sangat plastis, ornamen sculptural dan bermacam-macam warna dari bahan asli (bata, alam, kayu).
Gedung yang berdiri pada areal lahan yang luasnya sekitar 15.770 m², dan memiliki luas bangunan 868 m² ini bertembok warna putih dan bertekstur halus, dibangun atas prakarsa J.J. Jiskoot, Direktur Gemeentewerken (Dinas Pekerjaan Umum) Cirebon kala itu, yang pembangunan fisik bangunannya mulai dilakukan pada 1 Juli 1926 dan selesai dibangun pada 1 September 1927. Biaya pembangunannya menghabiskan dana sekitar 165000 gulden.
Gedung Balai Kota ini memiliki 3 bangunan secara terpisah yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendamping di sayap kiri dan sayap kanannya. Di bagian depan pada bangunan utama terdapat portico yang berbentuk setengah lingkaran. Pada bagian dalam pada bangunan utama banyak terdapat kaca patri yang memiliki hiasan bervariasi. Di dinding bagian depan pada bangunan utama memiliki enam buah hiasan udang yang menempel pada dinding. Di dalam ruangan pada bangunan utama memiliki banyak bentuk pilaster yang bercirikan Tuscan. Tuscan merupakan salah satu arsitektur Romawi Klasik yang memiliki hiasan moulding pada kepala tiangnya.
Gedung ini semula berfungsi sebagai Raadhuis (Dewan Perwakilan Kota) yang merupakan pusat administrasi Kota Praja Cirebon. Ketika itu, gedung ini juga kerapkali digunakan sebagai tempat pertemuan dan pesta pernikahan kalangan bangsa Eropa. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa kemerdekaan, gedung ini menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon.
Gedung ini merupakan salah satu dari sekian banyak bangunan kolonial di Cirebon yang masih berdiri utuh, menjadi bukti sejarah perkembangan gaya seni bangunan dari masa kolonial di Cirebon.
Berdasarkan kekunaan kisahnya, gedung ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001
13. Gedung Negara Cirebon
Gedung Negara terletak di Jalan Siliwangi No. 14 Kampung Krucuk, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada ujung pertigaan Jalan Siliwangi menuju arah situs Sunan Gunung Jati atau bundaran Krucuk.
Gedung Negara merupakan bangunan kolonial yang dahulu digunakan sebagai tempat peristirahatan para petinggi Hindia Belanda. Sekarang, Gedung Negara ini dipakai sebagai Kantor Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Unit Pelayanan Perijinan (Outlet) Wilayah Cirebon Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan sering dijadikan pusat pagelaran kegiatan seni dan budaya tingkat nasional.
Awalnya, bangunan gedung ini adalah Cheribon Residentwoning atau Kantor Karesidenan Cirebon yang dibangun pada tahun 1865. Bangunan ini didirikan semasa kepemimpinan Albert Wilhelm Kinder De Camurecq di Karesidenan Cirebon.
Kondisi bangunan ini masih terjaga keasliannya, hanya dibelakang gedung ini terdapat tambahan bangunan baru. Gedung ini mengalami tiga kali perubahan nama. Hal tersebut menjadikan gedung ini sebagai obyek wisata bangunan tua di Kota Cirebon, mulai Gedung Karesiden Cirebon (1865-1973), Gedung Kantor Pembantu Wilayah III Cirebon (1974), dan kemudian Kantor Badan Koordinator Wilayah Cirebon (2000-sekarang).
Halaman gedung ini sangatlah luas, sehingga halamannya pun sejuk karena banyak tumbuh tanaman besar yang rindang. Di halaman selatan dari bangunan ini terdapat areal yang ditempati sejumlah rusa tutul, yang menambah kondisi di daerah Gedung Negara ini benar-benar menyatu dengan alam.
Berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Gedung Negara ini merupakan Benda Cagar Budaya yang ada di Kota Cirebon. Hal tersebut menjadikan gedung ini sebagai objek wisata bangunan tua di Kota Cirebon
14. Makam Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati.
Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.
Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.
Sumber : Berbagai sumber
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati.
Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.
Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.
Sumber : Berbagai sumber